Duaaaarrrrr!!
.
Suara ledakan yang terdengar siang itu cukup
mengagetkan banyak warga yang sebagian tengah beristirahat. Termasuk anak
sulung saya yang sedang tidur siang, terbangun dengan nyaris terloncat karena
kaget. Ledakan itu bukan ledakan bom akibat ulah sekelompok teroris, tetapi
ledakan trafo listrik yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.
.
Meskipun tidak ada insiden
lanjutan, seperti kebakaran, tak urung meledaknya trafo listrik tersebut tetap
menimbulkan kehebohan. Terutama kehebohan karena jaringan listrik dari PLN yang
mendadak mati total dalam waktu yang cukup lama, setidaknya sejak pukul 2 siang
hingga hampir pukul 9 malam. Menurut informasi yang beredar, meledaknya trafo
diakibatkan beban listrik kelewat besar (sekedar catatan, masih ada “pencuri
listrik” di wilayah saya).
|
Listrik sebagai kebutuhan primer (photo by yswitopr) |
Tak dapat dipungkiri,
ketergantungan masyarakat masa kini terhadap listrik memang sangat tinggi.
Selama 24 jam penuh, aktivitas manusia seakan tergantung penuh dengan listrik.
Listrik tidak lagi sekedar menjadi kebutuhan sekunder, tetapi sudah menjadi
kebutuhan primer. Jika dulu listrik sekedar sebagai alat penerangan, saat ini
hampir seluruh aktivitas manusia tergantung listrik.
.
Berawal dari penemuan Micahel
Faraday, ilmuwan Fisika dan Kimia Inggris, yang berupa generator, babak awal
industri listrik pun dimulai. Prinsip dasar pembangkitan listrik pada generator
adalah menggerakan sebuah kumparan di daerah medan magnetik (atau sebaliknya) sehingga
timbul arus listrik induksi. Disinilah muncul kebutuhan tenaga penggerak untuk
memutar turbin generator yang dapat menghasilkan energi listrik dalam skala besar.
.
|
Air sebagai tenaga penggerak pada PLTA (photo by Aryani) |
|
|
Beberapa tenaga penggerak telah
disediakan oleh alam. Sebut saja tenaga penggerak oleh aliran air, angin, atau
gelombang pasar surut air laut. Namun rupanya tenaga penggerak alami ini belum
cukup memenuhi kebutuhan listri yang semakin besar, sehingga muncul alternatif
tenaga uap. Tenaga uap bisa dihasilkan dari proses pemanasan yang membutuhkan bahan
bakar. Lagi-lagi kita mencarinya dari alam, batu bara dan panas bumi misalnya.
Sayangnya sumber bahan bakar batu bara kian menipis di muka bumi ini, karena
kita ketahui bahwa batu bara adalah bahan bakar fosil yang pembentukannya
membutuhkan waktu berjuta-juta tahun. Ongkos produksi listrik kian besar
seiring terbatasnya pasokan batu bara, belum lagi masalah polusi yang
ditimbulkan dari pembakaran batu bara ini. Hal inilah yang kemudian mendorong
banyak pihak untuk mencari alternatif lain. Muncullah alternatif pembangkit
listrik tenaga nuklir dan tenaga surya. Tenaga surya mulai banyak dikembangkan
meskipun belum dalam skala besar. Bagaimana dengan nuklir?
.
Energi nuklir dihasilkan dari
reaksi pembelahan inti berat menjadi inti yang lebih ringan dengan cara
ditembak dengan partikel seperti neutron (reaksi fisi). Dalam reaksi fisi,
energi yang dihasilkan memang cukup besar, sehingga zat radioaktif semacam
uranium yang diperlukan tidak terlalu banyak. Itulah sebabnya banyak pihak yang
mengatakan bahwa ongkos produksi listrik dari PLTN lebih murah dengan tingkat
polusi relatif kecil (dengan catatan jika tidak terjadi kebocoran reaktor). Karenanya,
banyak negara-negara di dunia yang memproduksi listriknya dengan memanfaatkan
nuklir. Indonesia sendiri, sejauh ini belum memanfaatkan nuklir untuk produksi
listriknya. Meskipun dalam faktanya kita memiliki dua reaktor nuklir di BATAN
Bandung dan Serpong yang dimanfaatkan pula untuk pembangkit listrik dalam skala
kecil (bukan untuk konsumsi masyarakat luas) dan sekedar sebagai sarana
penelitian.
.
Beberapa faktor menjadi penyebab
mengapa Indonesia belum memiliki PLTN hingga saat ini. Salah satu faktor
terbesar adalah reaksi masyarakat yang menolak keberadaan PLTN di Indonesia.
Berlebihankah sikap masyarakat kita dalam menyikapi opsi pembangunan PLTN? Mari
kita runut peristiwa Chernobyl tahun 1986. Peristiwa ledakan reaktor nuklir
yang terletak di Ukraina ini menyisakan radiasi nuklir yang membahayakan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Peristiwa lain adalah peristiwa yang terjadi
pada reaktor nuklir Fukushima Daiichi, sekitar satu setengah tahun yang
lalu akibat gempa besar yang mengguncang Jepang. Bencana di Fukushima memang
tidak sedahsyat peristiwa Chernobyl. Meskipun demikian, toh, nyatanya,
pencemaran radioaktif masih berlangsung hingga kini seperti dilansir oleh VOA,
Ikan Dekat Fukushima Masih Tercemar
Radioaktif. Berita yang diturunkan VOA pada tanggal 26 Oktober 2012 ini
menyebutkan bahwa kebocoran dari reaktor nuklir yang rusak terus mencemari laut
Jepang dan mengakibatkan 40% ikan yang hidup di dasar laut terkontaminasi
radioaktif hingga di atas ambang keselamatan yang diijinkan untuk konsumsi
manusia. Peristiwa ini tentunya semakin menguatkan alasan penolakan pembangunan
PLTN di Indonesia, apalagi, secara geologis antara Indonesia dan Jepang
memiliki kesamaan. Indonesia dan Jepang sama-sama negara rawan gempa. Perlu
dicatat, bencana Fukushima dipicu oleh peristiwa gempa besar yang disertai tsunami.
.
Penolakan pembangunan PLTN tak
hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang notabene
sudah memiliki PLTN. Tak kurang, para aktivis lingkungan hidup juga menyerukan
soal penolakan PLTN, mengingat resiko pencemaran radioaktif yang dihasilkan
apabila terjadi insiden seperti peristiwa Chernobyl dan Fukushima.
.
|
Kincir angin (photo by Inge Ngotjol) |
Sebuah polemik yang cukup panjang
memang, ketika di satu sisi kehidupan manusia bergantung pada listrik, namun di
sisi lain, efek sampingan dari produksi listrik justru mengancam keselamatan
manusia. Mungkin sebaiknya negara perlu mendorong berkembangnya sistem listrik
mandiri, sehingga beban PLN tidak begitu besar. Petakan kondisi geografis
wilayah Indonesia, mana-mana saja yang sekiranya bisa memanfaatkan energi alam
untuk penggerak turbin pembangkit listrik. Dengan begitu, ongkos produksi
murah, ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan bisa diminimalisir. Jika di
sebuah daerah memiliki potensi untuk mengembangkan sistem listrik hidro, dorong
dan dukung masyarakat untuk secara mandiri membuat “PLTA” skala kecil, sekedar
untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayahnya. Jika yang lebih memungkinkan
adalah tenaga angin, terapkan hal yang serupa. Sehingga, PLN cukup memasok
listrik untuk wilayah tertentu yang tingkat kebutuhan listriknya sangat besar,
misalnya, atau yang kebutuhan listriknya belum seluruhnya bisa terpenuhi dari
pembangkit mandiri di wilayah tersebut. Semoga saja jalan keluar bisa segera ditemukan, pasokan listrik terpenuhi, lingkungan hidup tidak terancam.