Jumat, 02 November 2012

Problematika Listrik, Antara Kebutuhan dan Dampak Lingkungannya



Duaaaarrrrr!!
 .
Suara ledakan yang terdengar siang itu cukup mengagetkan banyak warga yang sebagian tengah beristirahat. Termasuk anak sulung saya yang sedang tidur siang, terbangun dengan nyaris terloncat karena kaget. Ledakan itu bukan ledakan bom akibat ulah sekelompok teroris, tetapi ledakan trafo listrik yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.
 .
Meskipun tidak ada insiden lanjutan, seperti kebakaran, tak urung meledaknya trafo listrik tersebut tetap menimbulkan kehebohan. Terutama kehebohan karena jaringan listrik dari PLN yang mendadak mati total dalam waktu yang cukup lama, setidaknya sejak pukul 2 siang hingga hampir pukul 9 malam. Menurut informasi yang beredar, meledaknya trafo diakibatkan beban listrik kelewat besar (sekedar catatan, masih ada “pencuri listrik” di wilayah saya).

Listrik sebagai kebutuhan primer (photo by yswitopr)
Tak dapat dipungkiri, ketergantungan masyarakat masa kini terhadap listrik memang sangat tinggi. Selama 24 jam penuh, aktivitas manusia seakan tergantung penuh dengan listrik. Listrik tidak lagi sekedar menjadi kebutuhan sekunder, tetapi sudah menjadi kebutuhan primer. Jika dulu listrik sekedar sebagai alat penerangan, saat ini hampir seluruh aktivitas manusia tergantung listrik.
 .
Berawal dari penemuan Micahel Faraday, ilmuwan Fisika dan Kimia Inggris, yang berupa generator, babak awal industri listrik pun dimulai. Prinsip dasar pembangkitan listrik pada generator adalah menggerakan sebuah kumparan di daerah medan magnetik (atau sebaliknya) sehingga timbul arus listrik induksi. Disinilah muncul kebutuhan tenaga penggerak untuk memutar turbin generator yang dapat menghasilkan energi listrik dalam skala besar.
.
Air sebagai tenaga penggerak pada PLTA (photo by Aryani)

Beberapa tenaga penggerak telah disediakan oleh alam. Sebut saja tenaga penggerak oleh aliran air, angin, atau gelombang pasar surut air laut. Namun rupanya tenaga penggerak alami ini belum cukup memenuhi kebutuhan listri yang semakin besar, sehingga muncul alternatif tenaga uap. Tenaga uap bisa dihasilkan dari proses pemanasan yang membutuhkan bahan bakar. Lagi-lagi kita mencarinya dari alam, batu bara dan panas bumi misalnya. Sayangnya sumber bahan bakar batu bara kian menipis di muka bumi ini, karena kita ketahui bahwa batu bara adalah bahan bakar fosil yang pembentukannya membutuhkan waktu berjuta-juta tahun. Ongkos produksi listrik kian besar seiring terbatasnya pasokan batu bara, belum lagi masalah polusi yang ditimbulkan dari pembakaran batu bara ini. Hal inilah yang kemudian mendorong banyak pihak untuk mencari alternatif lain. Muncullah alternatif pembangkit listrik tenaga nuklir dan tenaga surya. Tenaga surya mulai banyak dikembangkan meskipun belum dalam skala besar. Bagaimana dengan nuklir?
.
Energi nuklir dihasilkan dari reaksi pembelahan inti berat menjadi inti yang lebih ringan dengan cara ditembak dengan partikel seperti neutron (reaksi fisi). Dalam reaksi fisi, energi yang dihasilkan memang cukup besar, sehingga zat radioaktif semacam uranium yang diperlukan tidak terlalu banyak. Itulah sebabnya banyak pihak yang mengatakan bahwa ongkos produksi listrik dari PLTN lebih murah dengan tingkat polusi relatif kecil (dengan catatan jika tidak terjadi kebocoran reaktor). Karenanya, banyak negara-negara di dunia yang memproduksi listriknya dengan memanfaatkan nuklir. Indonesia sendiri, sejauh ini belum memanfaatkan nuklir untuk produksi listriknya. Meskipun dalam faktanya kita memiliki dua reaktor nuklir di BATAN Bandung dan Serpong yang dimanfaatkan pula untuk pembangkit listrik dalam skala kecil (bukan untuk konsumsi masyarakat luas) dan sekedar sebagai sarana penelitian.
.
Beberapa faktor menjadi penyebab mengapa Indonesia belum memiliki PLTN hingga saat ini. Salah satu faktor terbesar adalah reaksi masyarakat yang menolak keberadaan PLTN di Indonesia. Berlebihankah sikap masyarakat kita dalam menyikapi opsi pembangunan PLTN? Mari kita runut peristiwa Chernobyl tahun 1986. Peristiwa ledakan reaktor nuklir yang terletak di Ukraina ini menyisakan radiasi nuklir yang membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya. Peristiwa lain adalah peristiwa yang terjadi pada reaktor nuklir Fukushima Daiichi, sekitar satu setengah tahun yang lalu akibat gempa besar yang mengguncang Jepang. Bencana di Fukushima memang tidak sedahsyat peristiwa Chernobyl. Meskipun demikian, toh, nyatanya, pencemaran radioaktif masih berlangsung hingga kini seperti dilansir oleh VOA, Ikan Dekat Fukushima Masih Tercemar Radioaktif. Berita yang diturunkan VOA pada tanggal 26 Oktober 2012 ini menyebutkan bahwa kebocoran dari reaktor nuklir yang rusak terus mencemari laut Jepang dan mengakibatkan 40% ikan yang hidup di dasar laut terkontaminasi radioaktif hingga di atas ambang keselamatan yang diijinkan untuk konsumsi manusia. Peristiwa ini tentunya semakin menguatkan alasan penolakan pembangunan PLTN di Indonesia, apalagi, secara geologis antara Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan. Indonesia dan Jepang sama-sama negara rawan gempa. Perlu dicatat, bencana Fukushima dipicu oleh peristiwa gempa besar yang disertai tsunami.
.
Penolakan pembangunan PLTN tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang notabene sudah memiliki PLTN. Tak kurang, para aktivis lingkungan hidup juga menyerukan soal penolakan PLTN, mengingat resiko pencemaran radioaktif yang dihasilkan apabila terjadi insiden seperti peristiwa Chernobyl dan Fukushima.
.
Kincir angin (photo by Inge Ngotjol)
Sebuah polemik yang cukup panjang memang, ketika di satu sisi kehidupan manusia bergantung pada listrik, namun di sisi lain, efek sampingan dari produksi listrik justru mengancam keselamatan manusia. Mungkin sebaiknya negara perlu mendorong berkembangnya sistem listrik mandiri, sehingga beban PLN tidak begitu besar. Petakan kondisi geografis wilayah Indonesia, mana-mana saja yang sekiranya bisa memanfaatkan energi alam untuk penggerak turbin pembangkit listrik. Dengan begitu, ongkos produksi murah, ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan bisa diminimalisir. Jika di sebuah daerah memiliki potensi untuk mengembangkan sistem listrik hidro, dorong dan dukung masyarakat untuk secara mandiri membuat “PLTA” skala kecil, sekedar untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayahnya. Jika yang lebih memungkinkan adalah tenaga angin, terapkan hal yang serupa. Sehingga, PLN cukup memasok listrik untuk wilayah tertentu yang tingkat kebutuhan listriknya sangat besar, misalnya, atau yang kebutuhan listriknya belum seluruhnya bisa terpenuhi dari pembangkit mandiri di wilayah tersebut.  Semoga saja jalan keluar bisa segera ditemukan, pasokan listrik terpenuhi, lingkungan hidup tidak terancam.

2 komentar:

  1. lho kok ngga diposting di K, mbak....atau udah? .......... hehe untuk masalah listrik, mbak Hesti memang jagonya deh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak diposting di K bu Maria, karena ini utk ikutan kontes ngeblog. tp sejujurnya, nggak semua tulisan sy diposting di K, kdg saya posting di web guru fisika, kdg di blog pribadi, kdg diposting di semua tempat. tergantung sikon :)

      Hapus